Islamedia - Masih ingatkah kita dengan salah satu perang yang menjadi pelajaran penting untuk kita? Perang Uhud. Bisa dikatakan perang Uhud adalah perang pembalasan kaum kafir Quraisy atas kekalahannya pada perang badar. Atas kekalahannya ini, kaum kafir Quraisy merencanakan pembalasan dengan memobilisasi pasukan untuk membalas kekalahan mereka pada perang Badar. Mereka juga mengerahkan kabilah-kabilah di sekitar Makkah yang terikat perjanjian dengan Quraisy. Bahkan, para wanita juga dikerahkan untuk menghalangi pasukan Quraisy melakukan desersi.
Kabar rencana penyerangan balasan kaum kafir Quraisy pun terdengar oleh Rasulullah SAW dan kaum Muslimin di Madinah. Rasulullah Saw pun mengumpulkan semua kaum Muslimin di masjid. Dalam suasana yang mencekam itu, Rasulullah memberikan 2 opsi. Apakah kaumm Muslimin mengerahkan pasukan dan menghadapi kaum Quraisy di luar kota. Ataukah bertahan di dalam kota dengan membangun pertahanan yang kuat serta menghajar mereka di dalam.
Para sahabat yang tidak diturut serta dalam perang Badar, menginginkan pengalaman perang bersama Rasulullah. Mereka sangat menginginkan menghadapi musuh di luar kota sebagaimana terjadi dalam perang Badar. Namun banyak kalangan tua tidak menyetujuinya. Termasuk Abdullah bin Ubay bin Salul, menginginkan kaum MUslimin bertahan dalam kota.
Alasan mereka masuk akal. Pasukan musuh sedemikian besar, dengan mental perang yang menyala-nyala. Dendam kesumat masih membara dalam dada mereka sehingga akan sulit untuk menghadapinya. Dengan bertahan di dalam kota, kaum Muslimin akan terjamin pasokan ransum dan senjata. Juga dapat membuat berbagai jebakan mematikan seantero kota untuk membunuh musuh. Apalagi mereka tentu amat mengenal medan pertempuran disbanding pasukan Makkah itu.
Namun karena desakan para sahabat yang ingin berperang diluar kota amat kuat, Rasulullah pun menyetujuinya. Beliau pun berangkat dengan diikuti para sahabat untuk menghadang musuh di lereng gunung Uhud.
Namun dalam perjalanan, Abdullah bin Ubay dan sepertiga pasukan lain berbalik arah kembali ke Madinah. Katanya : “dia (Rasulullah) tidak menyetujui pendapatku bahkan mengambil pendapat anak ingusan dan orang awam. Kami tidak tahu untuk apa kami membunuh diri kami sendiri?”.
Bagaimanapun perang tetap berkecamuk. Dan sebagaimana diketahui, pasukan Rasulullah mengalami kekalahan. Hal ini membuat para deserter bersorak: “seandainya kalian mengikuti kami, niscaya tidak akan ada korban berjatuhan diantara kalian!” bahasa umumnya, “tuh kan? Apa ana bilang!!”,
Kata-kata diatas seharusnya tidak terucap dari lisan seorang mujahid mukhlis. Dia hanya terlontar dari jiwa-jiwa lemah yang menyimpan benih-benih kebusukan. Laksana Abdullah bin Ubay yang seakan menyepakati hasil syuro namun kemudian berbalik kebelakang. Dan saat sasaran dakwah tidak tercapai, seolah berlepas diri dan berkata, “tuh kan? Apa ana bilang!!”
Ironis. Karena bisa jadi, sasaran itu tidak terpenuhi akibat amalnya sendiri yang tidak sempurna. Bukan disebabkan kesalahan rencana yang sudah disusun.
Sekali lagi, tidak layak seorang da’I berucap demikian. Dalam syuro, berikanlah segala pemikiran dan pertimbangan yang tepat. Dan bila kemudian hasil syuro tidak sepakat dengan pendapat tersebut; tetaplah ikhlas dan beramal sesuai dengan kesepakatan. Jangan membuat langkah sendiri karena setiap anggota syuro yang hadir saat itu telah diikat dengan satu kesepakatan bersama. Sejatinya adalah kesepakatan untuk berjuang fii sabilillah.
Tsiqoh
Ikhwah fillah, dakwah ini bukan semata urusan di waktu senggang. Dimana rapat dan kegiatannya adalah sebuah hobi atau kebutuhan sosialis semata. Dia adalah beban dari Allah bagi segolongan manusia yang Dia muliakan. Manusia-manusia yang meniti kembali jalan para rasul-Nya.
Maka majelis syuro dalam level apapun, haruslah difahami memiliki beban yang demikian berat. Setiap keputusan yang dibuat haruslah difahami tidak asal jadi, asal bunyi, asal ketok palu. Hal ini telah melalui proses penggodokan us mencakup beryang tidak main-main.
Maka tidak ada jalan lain bagi kita untuk tunduk pada hasil syuro. Semustahil apapun menurut pikiran kita. Karena terkadang kita hanya dapat menilai sesuatu dari apa yang terjadi disekitar kita. Sedangkan syuro harus mencakup berbagai hal yang bisa jadi diluar pengetahuan dan pemahaman kita.
Beramal sajalah. Dan biarlah Allah, Rasul dan orang-orang beriman yang kelak akan menilainya.
Dan bial kelak dirasakan hasil syuro itu meleset dari sasarannya; paling tidak kita telah belajar suatu hal. Dan bukankah Allah tidak pernah menyalahkan suatu Ijtihad? Bila ijtihad itu tepat, Allah memberinya 2 pahala. Dan bila ijtihad itu tidak tepat, Allah tetap memberinya 1 pahala.
Allah Yang Maha Tahu saja selalu memberikan apresiasi dan penghargaan bagi sebuah keputusan syuro. Apakah kita merasa lebih pintar, pandai dan bijaksana dari Allah? Sehingga tidak mau menghargai keputusan syuro hanya karena berbeda dengan pandangan pribadi kita. Naudzubillah…
Karena bisa jadi, suatu amal dakwah tidak tepat mengenai sasarannya karena perilaku kita sendiri. Amal dakwah kita yang setengah hati akibat tidak sesuai dengan ego pribadi.
[al-izzah]
0 komentar:
Posting Komentar